Di awali oleh Rene Ducrates (1596 – 1650), dimana pada tahun 1644 mempublikasikan The Principles of Phylosophy sebagai dasar dari perspektif positivist dan post positivist, dimana ada perbedaan atau jarak antara ekternal dari obyek dan internal dari subyek, yang dikenal dengan Cartessian dualism. Cartessian dualism menyatakan ada perbedaan jelas antara dunia luar dan persepsi. Metode yang dikembangkan yang didasari pada perspektif ini adalah yang dikemanal dengan metode eksplanasi, menggunakan prinsip metode ilmiah dan penjelasan logis. dasar metode ini yang menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan alam menjadi ilmu yang matang, dan paling tua. Pensdekatan eksplanasi ini juga diterapka dalam ilmu-ilmu di luar ilmu alam, antara lain ilmu sosial dan ilmu humaniora, berlangsung terus sampai abad ke 19.
Pada awalnya, ilmu-ilmu sosial menerapkan aturan yang sama dengan apa yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam. Tetapi pada perkembangannya, ternyata banyak fenomena sosial yang membutuhkan metode lain selain yang diterapkan dalam ilmu alam.
Metode itu yang dikenal dengan metode pemahaman atau understanding. Dimana pada metode ini, subyektivitas peneliti masuk sebagai bagian dalam mencari kebenaran, Kebenaran yang tidak bebas nilai, karena manusia memang mahluk unik yang selama hidupnya selalu menyerap pengalaman yang dimilikinya, untuk dimodifikasi dengan pengetahuan sebelumnya. Sehingga setiap manusia itu unik.
Apa itu Metode eksplanasi
Metode eksplanasi adalah metode yang dikembangkan oleh para filsuf sejak abad 16, yang dikenal dengan filsuf positivis. Dimana metode yang dikembangkan berdasarkan hasil pengamatan terhadap ilmu-ilmu alam.
Imu pengetahuan alam berbasis pada bagaimana menerangkan suatu fenomena alam melalui cara berpikir logis, empiris dan induktif. Dimana hukum-hukum alam bisa berlaku pada semua fenomena alam yang sama. Disini antara peneliti dan obyek yang diteliti tercipta jarak yang jelas, dan melihat sesuatu fenomena dari sisi obyektif. Tidak ada subyektifitas peneliti yang masuk, karena hal tersebut dianggap menimbulkan bias dari teori yang dicetuskan. Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, bagaimana Decrates mengemukakan yang disebut Cartessian Dualism.
Daam pencarian kebenaran, banyak tokoh yang pemikirannya sangat berperan dalam pengembangan ilmu-ilmu Alam. Karl Raimund Popper, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan terbuka terhadap kritik, dan dalam hal ini ilmu pengetahuan mempunyai kebenaran yang relatif, karena jika pada suatu masa, suatu pernyataan dinyatakan benar, jika dimasa berikutnya ada teori baru yang menolaknya, dan bisa dibuktikan kebenarannya, pernytaaan tersbut menjadi salah. Jadi ada kemungkinan untuk salah dalam teori empiris. Metodenya dikenal dengan prinsip falsifikasi.
Adalah seorang Carl gustav Hempel, yang memberikan suatu pemikiran mengenai bagaimana melakukan penjelasan ilmu pengetahuan. dalam hal ini Hempel mengemukakan mengenai Ilmu sebagai suatu sistem penjelasan. Fenomena alam mempunyai prinsip pemersatu, dimana pada dasarnya dunia ini merupakan suatu sistem yang teratur (dunia kosmos) bukan dunia khaos. Unsur tersebut dilihat sebagai logos atau prinsip dasar alam raya. Jadi Pada dasarnya tugas ilmu pengetahuan adalah memberikan penjelasan stentang dunia, dimana setiap fenomena alam mempunyai penjelasan logis.. Hempel mengemukakan suatu struktur penjelasan(eksplanasi) sebab akibat dalam mencari kebenaran fenomena alam. Disini setiap penjelasan fenomena alam melalui struktur eksplanan dan ekspalandum, yang didasari pada prinsip deduksi, dimana mencari suatu universalitas teradap fenomena yang diteliti.
Dalam membuat eksplanasi dari suatu fenomena alam, ilmu pegetahuan alam selalu menggunakan metode ilmiah dalam mencari kebenaran dari fenomena yang diteliti. Untuk menerangkan sebuah gejala, , ilmu pengetahuan alam mempunyai tata aturan dalam lingkp kerjanya, yang merupakan kesepakatan yang hidup di masyarakat pengembang ilmu pengetahuan alam. Pokok-pokok aturan yang disepakati yaitu:
1.Ilmu-ilmu alam membatasi diri hanya membahas gejala atau fenomena yang dapat diamati. Pengamatan gejala/fenomena itu harus dapat diulang oleh orang lain. Sehingga memang dengan batasan ini, ilmu ilmu alam melepaskan diri dari variabel perangai manusia sebagai peneliti.
2.Dalam ilmu alam, bukan hanya merupakan kumpulan dari gejala-gejala alam, tapi ada semacam keyakinan bahwa masing-masing gejala alam itu saaling terkait satu sama lain, membentuk Hukum Alam. Teori yang dibangun harus bertumpu pada gejala alam yang 'syah”, selama diamati terus menerus, bebas dari konflik penalaran. Biasanya untuk itu dilakukan uji konsistensi penalaran melalui “bahasa” matematika. Seperti teori silogisme sebab akibat yang dikemukakan oleh Hempel dan Oppenheim. Juga seperti yang disampaikan oleh Karl R. Popper tentang prinsip Falsifiabilitas, yang menjadi dasar logis cara kerja ilmu empiris.
3.teori-teori yang dibangun dalam ilmu alam harus merupakan teori yang juga bisa meramalkan gejala alam yang lain yang belum dikenal. Dan gejala alam ini bisa dirumuskan dalam bentuk operasional sehingga bisa dilakukan eksperimen.
Dengan aturan yang berlaku, lingkup kerja ilmu-ilmu alam sangat terbatas. Jadi jangan mengharapkan ia dapat menjawab semua pertanyaan, tetapi jika jawaban itu ada, maka jawabannya bisa diandalkan.
Apa itu metode understanding
Dengan pembatasannya, ilmu alam tidak mampu menerangkan hal-hal yang terkait dengan keunikan manusia sebagai mahluk yang senang berkumpul, dan membentuk masyarakat sosial. Pada awalnya, ilmu-ilmu sosial menerapkan aturan yang sama dengan apa yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam. Tetapi pada perkembangannya, ternyata banyak fenomena sosial yang membutuhkan metode lain selain yang diterapkan dalam ilmu alam. Ada faktor manusia sebagai mahluk yang unik, yang mempunyai sifat-sifat berbeda dari tiap individunya, yang terbentuk sebagai akibat dari arena pengalaman tiap individu. Dengan demikian, ilmu sosial tidak mungkin mendengar, mengecap, melihat dengan mata kepala sendiri, gejala atau fenomena yang terjadi di masa lalu. pada hakekatnya, ilmu-ilmu sosial tidak memungkinakan pengamatan secara lansung dan berulang. Sehingga banyak kompleksitas yang terjadi, dan harus dicari pendekatan lain, yang diperlakukan sebagai ilmu dasar tersendiri, yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial.
Dalam hal ini, Thomas S Kuhn memberikan jalan untuk pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu melalui pendekatan Perspektif/ Paradigma. Paradigma pada dasarnya merupakan cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret.
Pada prinsipnya, teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Tulisan Kuhn ini membuat banyak ahli lain bermunculan untuk mengembangkan pendekatan yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial.
Pada pertengahan abad 18, Muncul Immanuel Kant (1724 -1803) yang dikenal dengan German Idealism, menyatakan bahwa manusia mempunyai pengetahuan awal (a priori) yang bebas, yang sudah ada sebelumnya berdasarkan pengalaman, dan independent. Artinya adanya pemahaman terhadap kondisi manusia selalu diarahkan oleh spirit subyektif dan intuisi.. manusia merupakan mahluk berakal budi, dan selalu mencoba mencari pengetahuan baru berdasarkan pemahaman yang sudah ada dalam dirinya (erfahrungfeld), Manusia membawa citra dirinya sendiri, yang nantinya akan mempengaruhi dia dalam memahami sesuatu, yang dipahaminya secara mendalam (konsep ini disebut sebagai Bildung)
Perkembangan muncul di awal abad 20 , yang dikenal dengan aliran Neo kantianisme, yang menonjol adalah Max Weber (1864 -1920) yang mencetuskan bahwa pendekatan ilmu alamiah tidak bisa digunakan begitu saja dalam pembangunan teori dalam ilmu-ilmu sosial. Karena dalam ilmu sosial ada pendekatan subyektif yang harus diperhatikan. Dari sini munculah ahli-ahli/scholar yang mempunyai perspektif baru yaitu Interpretif sebagai dasar pembentukan teori komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Pendekatan yang digunakan disini adalah pemahaman/undesrtanding (verstehen), untuk mencari kebenaran dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Beberapa cara berpikir yang menjadi fondasi teoritisnya. Ada 3 yang penting dikemukakan yaitu Hermenuetics, Phenomenology, dan Symbolic Interactionism.
susiana dewi ratih
oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar